“Coba kamu
buat peraturan-peraturan untuk kamu sendiri. Kamu mau diatur sama orang lain
apa kamu ngatur diri sendiri? Buatlah negaramu sendiri dek.”
“Peraturan itu
ada untuk dilanggar juga kok, tapi, jangan kelewatan... Kamu tahu kan batasan-batasan
peraturanmu sendiri?” “Setelah kamu melanggar itu, kamu akan belajar. Belajar
untuk mengejar yang ketinggalan, yang salah, yang kamu belum bisa capai.”
“Kamu itu
harus ikhlas. Tahu itu ikhlas? Menerima, bukan cuma dimulut aja, tapi juga
sampai ke hati,” “Sehingga, kamu hanya terus melihat kedepan dek, nggak balik
lagi ke situ-situ, mumet.”
“Tahu nggak
kenapa orang bisa stres, atau, kepikiran? Itu bukan karena tidak mampu, tapi
belum siap.”
“Prioritaskan
dek, yang membangun kamu, yang membuat kamu maju. Bukannya mondar-mandir kebingungan kayak
kancil ke kamar mama gini...” Ia memijat pelan pergelanganku. Kemudian menunjuk keluar jendela.
"Lihat dek, burung itu ada lagi. Lihat tuh dek, nggak pergi-pergi. Dia tahu sih mama lagi liatin, tuh, malah gaya banget... Eyang pasti suka banget ngeliat burung ini dek"
"Emang kenapa?"
"Siapa dek yang nggak seneng ngeliat burung. Dia itu polos gituu, lucu kan? Aning seneng kan ngeliatnya?"Aku mengangguk, senang melihat mama tidak seletih ia di hari kerja.
Dibalik suaranya yang cenderung
keras, sangatt cerewet, dan suka bikin (-_-)\m/, ia selalu bisa membuat aku nyaman dan ingin lebih
lama berbaring memandang atap kamar disampingnya. Ketika aku menatap matanya
yang bulat dan cerah itu, rasanya hanya maaf dan terimakasih yang ingin kuucap.
Ah, tapi tetap saja aku tidak
luput dari dosa-dosa yang kuperbuat kepada mama. Mau sengaja, atau sebaliknya.
Maaf karena menunda waktu istirahatmu di sabtu siang. Dan, makasih ma, rasa takut bercampur
panik yang ga pergi-pergi di otak udah memudar, cikit-cikitt , hehe :)
@>---
BYE
No comments:
Post a Comment